Blogger Widgets

Senin, 22 September 2014

Persiapan Menyambut Hari Raya Idul Adha 1435 H

  Setiap kali Idul Adha tiba seperti saat ini, tentu nya kita di ingatkan kepada dua hal penting yaitu Ibadah Haji dan Qurban. Keduanya mengandung hikma yang sangat besar dalam kehidupan manusia yang mau berfikir, maka dalam khutbah kali ini mari sama-sam kita coba mamahami makna filosofis dari ibadah haji dan qurban, sehingga apa yg di firmankan Allah dalam qur’an surat al-hajj: 28
ِليَشْهَادُمنَا فِعَ لَهُمْ
“agar mereka dapat menafsirkan sejarah yang dapat di ambil manfaat nya dalam kehidupan mereka”.

            Ketika Ibrahim a.s mendapat perintah dari Allah SWT untuk meninggalkan negri tempat tinggalnya, di bawalah keluarganya ke suatu daerah yang sunyi, sepi dan tandus. Tidak ada keramaian dan tanda-tanda kehidupan, yang ada hanyalah panas terik matahari, angin kencang dan lantunan suara bintanag buas itulah “ BAKKAH”. Bakkah adalah nama suatu desa yg kemudian di sebut MAKKAH. Kala itu sesuai namanya, benar-benar daerah yg mengundang air mata karena sangat sunyi dan tandus. Itu makanya sampai saat ini di Makkah, air mata sangat akrab dengan manusia, baik itu air mata keterharuan karena dapat pertolongan/panggilan sebagai duyufurrahman dari Allah swt maupun air mata penyesalan karena dosa dosa   yang pernah di perbuat. Begitulah Siti Hajar saat itu sambil menangis bertanya kepada Ibrahim: Ya….. suamiku apakah kita kemari karena benar-benar perintah Allah? Ibrahim menjawab, Ya benar. Kalau memang benar adanya, Allah pasti tidak membiarkan kita dalam kesengsaraan. Dan Ibrahim pun berdo’a sebagai mana di jelaskan Allah dalam Q.S Ibrahim:37

رَبَّنَااِنِّيْ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِذِيْ زَرْعٍ عِنْدَبَيْتِكَ اْلمُحَرَّمِ * رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا لصَّلوةَ فَجْعَلْ اَفْئِدَةً مِنَ النَّا سِ تَهْوِيْ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ

 الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

“ Ya Allah saat ini aku telah manempatkan keluarga ku di lembah yg tandus yg tidak menghasilka buah buahan, di samping rumah mu yang suci. Ya tuhan kami jadikanlah agar mereka menegakkan sholat dan buatlah hati manusia tertarik untuk datang dan berilah mereka rezeki  buah buahaan agar mereka menjadi orang yg bersyukur”
       
  Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa berdo’a dalam kondisi sedang melakukan perintah Allah akan lebih memungkinkan di ijabah oleh Allah SWT terbukti dari sekian permohonan Ibrahim, semuanya di kabulkan Allah, mulai dari keinginan manusia mendirikan sholat di Masjidil Haram hingga keinginan manusia untuk datang ke Makkah baik yang belum pernah maupun yang sudah pernah.


 Saat ini jutaan orang yg datang ke tempat berdoanya Ibrahim a.s dengan bahagia dan penuh kesyukuran karena keinginan mereka selama ini telah di penuhi oleh Allah SWT. Bagi kita yang tinggal di sini juga tidak sedikit yang masih rindu bagi yang sudah haji/hajjah dan penasaran bagi yang belum haji/hajjah sehingga memiliki rasa keinginan yang kuat untuk mendapat panggilan ke sana sebagai tamu Allah SWT. Keinginan ini harus kita pelihara dengan tetap berdo’a dan optimis, sebab Allah berfirman dalam Q.S Al-Hajj:27

وَاَذٍّنْ فِى النَّا س بِا اْلحَخِّ يَأْ تُوْكَ رِجَا لاً وَّعَلَى كُلِّ ضَا مِرٍ يَّأْ تِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقَ

“Panggillah manusia untuk mengerjakan haji percaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau naik kendaraan, mereka yang datang itu dari tiap-tiap jalan yang jauh”.
     
     Menurut Asbabul Nuzul. Ayat ini pernah turun kepada nabi Ibrahim a.s pada saat itu Ibrahim sempat bertanya : bagaimana saya bisa memangil padahal manusia jauh dan bahkan masih banyak yang belum lahir ke dunia ini ?. Allah berfirman dalam hadits qudsi: Ibrahim, panggillah mereka dan aku yg akan menyampaikannya. Itu  makanya orang yg sampai ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji di sunnah  kan Rasulullah membaca Talbiyyah :
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ – لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ

“ aku sambut panggilan Mu ya Allah, aku sambut panggilan Mu tiada sekutu bagi Mu”.

       
Meski haji merupakan rukun Islam yang ke lima, akan tetapi pelaksanaannya jauh berbeda dengan empat ibadah lainnya. Banyak orang menyebutkan Ibadah haji adalah ibadah yang cukup melelahkan namun juga cukup mengasyikkan karena memiliki nilai dan makna tersendiri dalam kehidupan.
·      Kabbah adalah rumah yang mula-mula di bangun di atas dunia ini,

 “Sesungguhnya rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang di berkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam”.

Ini merupakan lambang kekokohan jiwa dalam menghadapi setiap persoalan yang mengelilingi kehidupan.
·         Melalui tawaf mengelilingi ka’bah berarti setiap persoalan yang mengelilingi kehidupan, porosnya harus tetap satu yaitu Allah SWT.

Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. Q.S Al-Baqarah : 156

·         Melalui pakaian ihram, orang harus meninggalkan status sosial yang disandangnya.


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S al-Hujrat : 13

·         Demikian juga saat beribadah di Masjidil Haram, bagaimanapun akan terasa adanya perbedaan pelaksanaan ibadah antara satu dengan lainnya tetapi Ikhtilaf saat itu dapat di jadikan sebagai rahmat dan perekat ukhuwah Islamiyah, tanpa saling menyalahkan.
 
 Setelah itu Sa’i, perlambang air kehidupan dalam perjuangan, tidakkah kita perhatikan dengan gigih dan ulet mengendalikan jalan mengalirnya, menempuh segala kelok dan liku, dari puncak ia turun ke lembah melalui semak belukar, menguak pasir dan membelah batu tidak jarang pula tersebak kekiri dan kekanan. Air dapat menjadi rahmat dan bisa juga menjadi lautan yang dapat menimbulkan badai dan gelombang. Dan ujung sa’i adalah Sofa dan Marwa berarti ada sedikit perlomban untuk mencapai finish. Itu berarti mencari kehidupan harus dengan tekad yang kuat (mujahadah/sungguh-sungguh atau serius) mencari ampunan dan Ridho Allah swt.

 “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. Q.S Ali Imran : 133

 
Puncak perjalanan haji adalah arafah, sabda Rasulullah SAW  “Haji itu adalah berpuncak di arafah”         الحج العر فة
Intinya adalah wukuf. Secara harfiah, arafah berarti pengenalan, berhenti sejenak untuk introfeksi diri yang sebenarnya. Kita ini tidak lebih dari hanya sekedar bentuk daging yang di balut dengan tulang dan aliran darah yang tidak lebih dari makhluk Allah SWT lainnya kecuali ada nilai iman dan taqwa. Disitulah kita menyadari akan kesalahan dan kekeliruan yang pernah kita lakukan dan di harapkan akan muncul bisikan suci “Taubatan Nasuha”. Akhirnya puncak dari kesempitan dan kepadatan umat akan di temui pada saat di mina untuk melempar jumrah. Mina adalah lambang melempar segala godaan yang menjerumuskan kepada kelalaian memenuhi perintah Allah swt. Melemparkan segala kejahatan yang pernah dilakukan dan meninggalkannya di tengah krikil yang bertebaran, agar tidak terbawa pulang bersama kloter yang membawanya. Dan di harapkan akan menghasilkan Haji yang mabrur dan baginya jaminan syurga. Rasulullah saw bersabda :
اَلْحَجُّ مَبْرُوْرٌ لَيْسَ لَهُ جَزَاءً اِلاَّ اْلجَنَّةَ
“ Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga”.
Jama’ah Shalat Id yang di Rahmati Allah SWT
            Dalam kaitannya dengan perayaan haji, dalam suasan hari raya akbar ini, kita juga di anjurkan untuk mensyukuri nikmat yang telah di beri Allah kepada kita. Terutama kepada orang-orang yang mampu untuk berkurban. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Sungguh kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah “ Q.S al-Kautsar : 1-2

Ibadah qurban bermula dari peristiwa 3 sosok manusia yang penuh ke imanan dan ke taqwaan yang dalam ini tidak ada tolak ukuran nya dalam sejarah pentas drama kehidupan manusia di atas dunia ini. Sebagaimana di jelaskan dalam Tafsir Al-Qurtibhi jilid XV alaman 102 bahwa Ibrahim bermimpi 3 kali yaitu pada malam 8 Dzulhijjah yang di sebut malam tarwiyah, malam 9 Dzulhijjah yang di sebut hari arafah dan malam 10 Dzulhijjah di sebut hari nahar (penyembelihan) yaitu pelaksanaan qurban. Karena setelah tiga malam berturt-turut Ibrahim bermimpi bahwa seseorang berkata” Sesungguhnya Allah menyuruh engkau menyembelih anak mu”. Maka Allah menerangkan dalam Al-qur’an surat Ash-Shaffat ayat:102

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
Dari tafsir dan ayat di atas, tergambar jelas, bahwa meskipun Ibrahim sebagai ayah, pimpinan dan kepala keluarga dan sekalipun mendapat perintah dari sang Kholik namun masih tetap berkonsultasi terhadap keluarga terlebih dahulu dalam meminta pendapat yang terbaik diantara yang baik. Dari peristiwa ini, Nampak jelas bahwa ketika hendak menyelesaikan sesuatu masalah sebaiknya di lakukan dialog atau musyawarah yang di anjurkan Islam, yang ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai prinsip dasar dalam berdemokrasi. Firman Allah swt dalam Qur’an surat Ali Imran : 159


“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

            Nafas semangat ber-qurban, sejalan dengan seruan bersikap demokrasi. Sikap yang harus di miliki setiap masyarakat. Dalam kisah ini lapisan masyarakat atas tampak potret nabi Ibrahim a.s yang melakukan dialog sebelum merealisasikan suatu keputusan. Dan lapisan masyarakat bawah di wakili Ismail sebagai tokoh muda yang rela bersikap nerimo terhadap penerapan dan pelaksanaan keputusan yang berlaku, karena sesuai dengan sumber perundang-undangan yang berlaku dan tertinggi

            Menghadapi aneka situasi dan kondisi, maka dalam setiap pengambilan keputusan, hendaknya peka terhadap aspirasi masyarakat luas walaupun masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang beriman dan bertaqwa seperti pribadi Ismail a.s. Karena salah satu syarat anggota musyawarah dalam Islam adalah pengamalan dan pengetahuan agama nya. Hal ini dilakukan agar keputusan yang di ambil lebih aspiratif dan aplikatif, sehingga tidak menimbulkan gejolak yang dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, selalu nampak, bila suatu keputusan yang di ambil kurang aspiratif, maka cepat atau lambat akan terjadi guncangan atau bencana yang merusak tatanan bermasyarakat, berkeluarga dan bertetangga.


            Bercermin dari peristiwa sakral antara Ibrahim dan Ismail, betapa ikhlas sang ayah melaksanakan perintah  Allah walau harus mengorbankan anak yang paling ia cintai dan di sayangi, begitu juga dengan Ismail yang ikhlas pula menerima walaupun harus mengorbankan cita-cita dan harapan dunia, karena mereka punya aqidah/keyakinan yang sangat kuat atas Firman Allah :

“………boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Q.S Al-Baqarah : 216

                 Dengan demikian melaksanakan ibadah qurban, disamping membangun solidaritas sosial dan rasa kebersamaan tentunya harus pula di lakukan dengan dasar niat ikhlas semata-mata ”lillaahi ta’ala”. Sehingga menjadikan seseorang peduli terhadap apa yang terjadi di luar pagar rumahnya. Apa lagi ditengah suasana persaingan ekonomi saat ini yang kadang lebih cenderung mengarah pada kehidupan secara nafsi-nafsi
            Insya Allah dengan momentum idul adha ini, mari kita melaksanakan penyembelihan hewan qurban, yang kemudian di salurkan kepada orang-orang yang ada di sekitar kita karena bias saja kelebihan harta yang kita miliki saat ini adalah berkat do’a dan munajat mereka selama ini atau bias juga memang rezeki mereka yang Allah titipkan melalui kita. Meraih ke-Ridho-an Allah memang membutuhkan tadhiyah (pengorbanan) yang penuh keikhlasan, insya Allah kebaikan yang kita lakukan hari ini dan yang akan datang, sesungguhnya telah Allah persiapkan gantinya yang jauh lebih baik daripada kebaikan yang kita lakukan.


Selanjutnya admin akan menjelaskan mengenai apa Makna dan Hikmah Kurban?. karena tidak lama lagi kita akan bertemu dengan hari raya Idul Adha (Hari raya Kurban). pada hari ini jamaah haji dari seluruh dunia sedang dikumpulkan pada satu tempat. kita doakan mereka semua agar diberikan kemudahan dan kesabaran dalam menyempurnakan rukun islam yang kelima dan menjadi Haji yang mabrur, khususnya jamaah haji indonesia.

Dalam surat al-kautsar Allah menyindir mengenai Ibadah Kurban :
“Maka shalatlah hanya kepada Rabb-mu dan menyembelihlah.” (QS. Al-Kautsar: 2) Di dalam ayat ini yang dimaksud dengan “menyembelih” adalah menyembelih hewan kurban pada hari nahr (‘Idul Adha dan tiga hari setelahnya). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ahli tafsir dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir. (lihatZadul Masir 6/195 dan Tafsir Ibnu katsir 8/503)

Makna Udhiyah

Al-Udhiyyah adalah bentuk tunggal dari al-adhahi. Al-Imam al-Jurjani menjelaskan, bahwa al-udhiyahadalah nama untuk hewan kurban yang disembelih pada hari-hari nahr (Idul Adha dan 3 hari setelahnya) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. (At-Ta’rifat 1/45)


Hukum Udhiyah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah mu’akkadah, dan bagi orang yang memiliki kemampuan agar tidak meninggalkannya. Adapun jika berkurbannya karena wasiat atau nadzar maka menjadi wajib untuk ditunaikan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 16/156 dan Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/10)


Kedudukan Berkurban dalam Islam

Berkurban memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Cukuplah menunjukkan hal itu manakala kurban itu  lebih utama daripada shadaqah sunnah. Ibnu Qudamah berkata, “Al-Udhiyah lebih utama ketimbang shadaqah biasa yang senilai dengannya.” (Al-Mughni 9/436)
Syarat-Syarat Udhiyah


Ada empat syarat hewan yang boleh untuk dijadikan sebagai udhiyah:

Pertama: Dari jenis hewan yang telah ditentukan syari’at yaitu unta, sapi, dan kambing. Barangsiapa berkurban dengan kuda atau ayam maka tidak sah walaupun bentuknya lebih bagus dan harganya lebih mahal.

Kedua: Telah mencapai usia tertentu, yaitu enam bulan untuk domba dan satu tahun untuk kambing Jawa. Adapun untuk sapi adalah dua tahun, sedangkan unta adalah lima tahun.
Barangsiapa berkurban dengan domba berumur lima bulan atau sapi berumur satu tahun maka tidak sah.
Ketiga: tidak memiliki 4 cacat tubuh yang disebutkan dalam hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallaahu ‘anhu,“Ada empat cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban; al-‘aura (buta sebelah) yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan kurus yang tidak ada sumsumnya.”

Maka tidak boleh berkurban dengan hewan-hewan yang memiliki kriteria cacat tubuh seperti tersebut di atas atau yang lebih parah darinya, seperti buta kedua matanya, putus salah satu kakinya, sekarat karena diterkam hewan buas atau yang lainnya.

Adapun cacat tubuh yang tidak terlalu parah maka masih sah dijadikan sebagai udhiyah seperti hewan yang terpotong telinga, tanduk, atau ekornya, baik terpotong secara keseluruan atau hanya sebagian saja. Tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah memilih hewan yang bagus, gemuk, dan sehat.
Keempat: Menyembelih pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah shalat ‘Idul Adha sampai akhir hari tasyriq. Maka total waktu penyembelihan adalah empat hari (‘Idul Adha dan 3 hari setelahnya).
Barangsiapa menyembelih pada selain hari yang telah ditentukan maka tidak dianggap sebagai hewan kurban walaupun orang tersebut tidak mengetahui hukumnya. (Lihat Liqa’ Al-Babil Maftuh Ibnu ‘Utsaimin 92/3 dan al-Fatawa Ibnu Utsaimin 25/13)


Satu Hewan Cukup untuk Satu Keluarga

Berkurban dengan satu ekor kambing telah mewakili seluruh keluarga yang tinggal dalam satu atap walaupun berjumlah lebih dari satu keluarga. Dengan ketentuan ketika menyembelihnya harus diniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Sebagaimana dahulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya berkurban satu ekor domba untuk beliau dan seluruh isteri dan keluarga beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. (HR. Ahmad 6/391, lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/40).

Mengkhusukan Kurban untuk Orang Yang Telah Meninggal
Tidak boleh mengkhususkan kurban untuk orang yang telah meninggal walaupun kerabat dekat. Karena hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun jika meniatkan untuk diri dan semua keluarganya baik yang masih hidup atau yang telah meninggal maka yang seperti ini tidak mengapa. (Lihat Liqa’ Al-Babil Maftuh Ibnu ‘Utsaimin 92/2)


Beberapa Hukum Berkaitan dengan Orang yang Berkurban

Berikut beberapa hukum yang harus diperhatikan oleh seorang yang ingin berkurban:
a. Ikhlas Mengharap Ridha Allah subhaanahu wa ta’aalaa
Niat yang ikhlas adalah kunci diterimanya sebuah amalan. Seorang yang berkurban dengan kambing yang mahal harganya, gemuk tubuhnya, dan bagus bentuknya tetapi tidak diiringi dengan keikhlasan maka tidak akan memiliki arti sedikitpun di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa,
“Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya (hewan sembelihan), akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj: 37) dan ketakwaan yang paling agung adalah mengikhlaskan niat.

b.    Tidak Boleh Memotong Kuku dan Mencukur Rambut
Memasuki  sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, seorang yang telah berniat berkurban tidak boleh memotong kuku dan semua rambut yang tumbuh di tubuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallambersabda,

“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1977 dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha)

Dalam riwayat lain, “Janganlah sekali-kali ia memotong rambutnya atau memotong kukunya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud larangan memotong kuku dan rambut adalah menghilangkan kuku baik dengan cara memotong, mematahkan, atau cara lainnya. Sedangkan larangan memotong rambut adalah dengan mencukur, memendekkan, mencabut, membakar, menggunakan obat perontok, atau cara lainnya. Larangan tersebut berlaku bagi bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, dan seluruh rambut yang tumbuh di tubuh.” (Al-Minhaj 6/472)

Tata Cara Memotong Udhiyah

Cara memotong udhiyah yang berupa kambing, baik domba maupun kambing Jawa adalah sebagai berikut:

Siapkan pisau yang tajam.
Baringkanlah hewan kurban di atas lambungnya yang kiri. Kemudian letakkanlah kaki anda di atas leher hewan kurban sedangkan tangan kiri anda memegangi kepala hewan kurban sehingga menjadi tampak urat lehernya.

Bacalah basmalah:
Bismillah, Allahu Akbar, Allohumma hadza minka wa laka, Allohumma hadzihi ‘anni wa ‘an ahli baiti
“Dengan nama Allah, Allah Maha besar. Ya Allah (hewan) ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah, ini kurban dariku dan keluargaku.”
Dan boleh juga dengan membaca,
Bismillah, wallahu Akbar
“Dengan nama Allah, Allah Maha besar.”

4. Lalu gorokkan pisau dengan kuat di leher bagian atas hingga terputus al-hulqum (jalan pernapasan), al-wajdain (dua urat leher) dan al-muri (jalur makanan).
Diusahakan menyembelih hewan kurbannya sendiri karena itu yang lebih utama, bila tidak mampu maka diwakilkan kepada orang yang terpercaya. Boleh baginya melihat proses penyembelihan atau pun tidak melihatnya. Dan diperbolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurbannya sendiri bila ia mampu melakukannya. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/60 dan 81)

Memakan Daging Kurbannya
Seorang yang berkurban disunnahkan memakan sebagian dari daging hewan kurbannya, bahkan ada sebagian ulama’ yang mewajibkannya berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa:
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Tidak ada ketentuan batas maksimal dalam pengambilan daging kurban, boleh mengambil sedikit, separuh, atau sebagian besar.

Berhutang untuk Berkurban
Berhutang untuk membeli hewan kurban diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan pasti, sehingga dia bisa membayar hutangnya tidak melebihi batas tempo yang telah disepakati. Apabila tidak ada penghasilan pasti, maka tidak dianjurkan berhutang karena syari’at kurban hanya berlaku bagi orang yang memiliki kemampuan. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/110)
Menyimpan Daging Kurbannya

Diperbolehkan menyimpan daging hewan kurban walaupun lebih dari tiga hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hanyalah dahulu aku melarang kalian (menyimpan daging kurban) karena ada golongan yang membutuhkan. Sekarang makanlah, simpanlah, dan bersedehkahlah”  (HR. Muslim no.1971)

Menyedekahkan sebagian Daging Kurban
Hendaknya daging hewan kurbannya tidak dimakan semuanya, sisihkanlah sebagiannya sebagai sedekah bagi orang-orang fakir, Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Boleh memberikan daging hewan kurban kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin atau menampakkan kebencian kepada mereka. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 25/133)
Wallahu a’lam…

Demikian sedikit ulasan mengenai Makna dan Hikmah Kurban | Sekilas mengenai Qurban artikel qurban di-bulan-dzulhijjah-pengertian-qurban-sejarah-qurban-keutamaanhikmah-qurban-hewan-qurban-makalah-fikih-kurban. Semoga artikel ini bermanfaat menjelang datangnya hari raya idul adha dan seterusnya serta lebih memahami makna dan hikmah dari qurban.

Sumber : http://kaahil.wordpress.com/2012/10/16/bagus-fiqih-seputar-qurban-salaf-artikel-qurban-di-bulan-dzulhijjah-pengertian-qurban-sejarah-qurban-keutamaanhikmah-qurban-hewan-qurban-makalah-fikih-kurban/



0 komentar:

Posting Komentar